Rabu, 24 September 2014

Bersuci

Pemateri           : Ustadz Dede Kurniawan
Pembahasan    : Kitab Matan Ghoyah Wat Taqrib
Tanggal Kajian : Jum'at, 12 September 2014

     Kitab Matan Ghoyah Wat Taqrib ini adalah kitab yang dikarang oleh Al qadhi Abu Syuja' Al Ashbahani yang lahir tahun 433H. Kitab ini berisi tentang ringkasan (mukhtashar) Fiqih berdasarkan mazhab Imam Syafi’i.
     Penulis memulai bukunya dengan kitab thohaaroh karena thohaaroh (bersuci) adalah salah satu syarat sah sholat dimana sholat adalah rukun Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat. Ia adalah pembeda antara seorang muslim dan non muslim, ia adalah tiang agama Islam, dan ia adalah perkara pertama yang akan dihisab dari seorang hamba. Jika ia benar dan diterima maka akan diterimalah seluruh amalan hamba tersebut, jika ia tertolak maka tertolaklah seluruh amalannya.
     Sholat tidak akan sah kecuali jika orang yang mengerjakannya suci dari hadats dan najis sesuai dengan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut. Adapun sarana yang digunakan untuk bersuci adalah air atau apa yang bisa menggantikannya saat tidak ada air yaitu debu dengan cara bertayammum. Maka pantaslah bila para ahli fiqih -semoga Alloh merahmati mereka- memulai pembahasan dalam kitab mereka dengan pembahasan bersuci. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena sholat lebih didahulukan dari rukun Islam yang lain seperti zakat, puasa, dan haji (kecuali dua kalimat syahadat) sehingga pantaslah jika pembahasan tentang persiapan sholat (termasuk pembahasan thohaaroh) lebih didahulukan. Thohaaroh adalah kunci sholat sebagaimana disebutkan dalam hadits Ali Rodliyallohu'anhu bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kunci Sholat adalah bersuci." (HR. Abu Daud) dan syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih.
     Hadats dapat menghalangi seseorang dari melaksanakan sholat, ia ibarat gembok yang menempel pada orang yang berhadats maka tatkala orang itu berwudlu terbukalah gemboknya, sehingga thohaaroh adalah syarat sah sholat yang paling penting dan syarat harus didahulukan dari yang disyaratkan.
     Adapun kebiasaan para ulama untuk memisahkan setiap pembahasan pada karya tulis mereka dengan membuat kitab atau bab tertentu bertujuan agar mudah dipelajari kembali, dapat memberbarui semangat, sebagai motivasi untuk menghafal, dan menimbulkan kesenangan dengan adanya penutupan dan permulaan, sebagaimana seorang musafir apabila ia telah selesai dari satu tahapan ia akan memulai tahapan lain dengan semangat baru, dan semua ini terinspirasi dari Al-Qur'an yang mulia

PEMBAHASAN I    :     B E R S U C I

     At-Thohaaroh secara bahasa adalah bersih dari kotoran dan najis. Penulis berkata bahwa macam macam air yang boleh di pergunakan untuk bersuci ada tujuh macam yaitu:
  1. Air langit / air hujan
    "... dan Alloh menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu)" (QS: Al-Anfal : 11)
  2. Air laut
    Rosululloh bersabda: "air laut itu adalah alat bersuci dan halal bangkainya" (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh syaikh Al-Bani)
  3. Air sungai
  4. Air sumur
  5. Mata air
  6. Air salju
  7. Air embun
Kemudian macam-macam air dibagi menjadi empat bagian, yakni:
  1.  Air suci secara zatnya lagi mensucikan dan tidak makruh penggunaannya, yaitu air mutlak.
  2. Air yang suci secara zatnya lagi mensucikan tapi makruh penggunaannya,  yaitu air yang terjemur matahari (air mushamas).
       Imam An-nawawi berpendapat bahwa air yang terjemur matahari tidak makruh penggunaannya dan inilah pendapat yang tepat. Adapun hadits Aisyah yang berbunyi "Air tersebut dapat menyebabkan penyakit belang atau panu" hadits ini tidak shohih, maka air jenis ini masuk pada point 1
  3. Air musta’mal, yaitu air yang suci tapi tidak mensucikan. Meliputi air yang telah digunakan untuk menyucikan hadats dan air yang telah berubah (warna, bau, dan rasanya) karena benda suci lain yang mencampurinya. Contohnya: kopi, teh.
         Y
    ang tepat adalah bahwa air musta'mal boleh digunakan bersuci dalilnya hadits Jabir: Rosulullah menjengukku saat aku sakit dan tidak sadarkan diri lalu Rosulullah berwudhu dan menuangkan air bekas wudhu tersebut kepadaku (Muttafaqun Alaih) Juga dikarenakan air itu pada asalnya suci sampai ada dalil yang yang memindahkan dari hukum asalnya dan bertemunya air dengan anggota tubuh yang suci tidak menghilangkan kesucian air tersebut.
  4. Air najis, yaitu air yang telah kemasukkan najis sedangkan air itu kurang dari dua kullah (walaupun tidak mengalami perubahan pada bau, warna, dan rasanya).
         Dalil yang digunakan oleh penulis adalah pemahaman kebalikan (Mafhum Al-Mukhoolafah) dari sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: "apabila air itu mencapai dua kullah maka tidak membawa 
    khobats/najis" (HR. abu Dawud, dishohikan oleh Ibnu Hibban). Jadi, pemahaman kebalikannya jika kurang dari dua kullah dan terkena najis maka ia menjadi najis sekalipun tidak berubah warna, bau, dan rasanya. Jawaban: Manthuuq (yang diucapkan) lebih didahulukan dari pada Mafhuum (yang dipahami). Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Air itu suci tidak bisa di najiskan oleh apapun" (Hadits tentang sumur bido'ah). Sehingga, sesuai dengan kaidah fiqih: apabila bertabrakan antara manthuuq dan mafhuum maka didahulukan manthuuq.
Kesimpulan:
  • Air itu hanya ada dua macam : Air suci lagi mensucikan dan Air najis lagi menajiskan
  • Yang membatasi kedua jenis air tersebut adalah perubahan salah satu sifatnya dengan sebab kemasukkan najis. Jadi, jika berubah warna, bau, atau rasanya dengan sebab najis maka air tersebut najis. Jika tidak mengalami perubahan, maka tidak najis. Hal ini berlaku pada air yang sedikit maupun banyak.

Catatan ini disarikan dan diterjemahkan dari kitab Tasyniiful Asmaa' Syarh Mukhtashor Abi Syuja' karya Nayif Ibnu Ali Ibnu Abdillah Al-Qofaari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar